Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) Buleleng mulai merintis kerjasama dengan daerah produsen bahan pangan untuk menurunkan angka inflasi di Buleleng.
Inflasi global berdampak pada kenaikan harga barang dan jasa secara nasional bahkan hingga di daerah. Hal ini berpeluang terjadi karena manajemen yang kurang baik serta tidak bersatu padunya antar daerah untuk memenuhi kebutuhan pangannya. Oleh karena itu isu inflasi daerah, nasional, dan global harus mendapatkan perhatian serius dari semua pihak. Sebagai upaya pengendalian inflasi, telah dibentuk tim pengendali inflasi daerah yang bertugas mengantisipasi lonjakan inflasi. Targetnya secara nasional adalah 4.0 persen dari yang sebelumnya inflasi mencapai angka 4.94 persen.
Kondisi di Buleleng per Juli 2022 angka inflasi mencapai 5.3 persen sehingga menjadi perhatian. Terkait hal itu TPID harus aktif memantau serta melaporkan perkembangan harga komoditas setiap harinya. Sementara Satgas Pangan juga telah dibentuk untuk memantau kondisi persediaan (supply) dan kebutuhan (demand) agar seimbang.
Ketua TPID Buleleng Gede Suyasa usai mengikuti rapat koordinasi nasional (rakornas) sinkronisasi program/kegiatan pengendalian inflasi secara virtual Selasa (30/08) mengatakan komoditas cabai dan bawang merah menjadi perhatian karena menjadi ranking satu penyebab inflasi di Buleleng. Oleh karena itu pemerintah daerah berusaha untuk melakukan pengendalian. Caranya dengan merintis kerjasama antara kabupaten lain yang menjadi produsen cabai lebih banyak. Sejatinya produksi cabai merah di Buleleng cukup. Hanya saja petani lebih banyak menjual hasil panennya ke luar daerah sehingga persediaan kurang. ”Oleh karenanya kita berharap agar petani bersedia menjual cabainya ke perumda kita yang melakukan intervensi pasar. Tentu harganya pasti bersaing, namun karena ini perumda sebagai tim stabilisasi harga membantu mengendalikan inflasi dan harga maka bisa menjual dengan harga yang lebih murah dari pasaran,”ujarnya.
Kemudian komoditas lainnya juga digarap perumda khususnya PD Swatantra. Salah satunya telur ayam. Telur yang saat ini dijual dengan harga sekitar Rp54 ribu per krat dengan pendekatan dan lobi-lobi dari PD Swatantra bisa dibeli dengan harga yang lebih rendah dan dijual lebih murah dari harga pasar. “Itu sangat ditentukan oleh permintaan dan kebutuhan, apakah jumlah kuota yang bisa di-supply PD Swatantra signifikan terhadap kebutuhan. Itu akan menentukan harga bisa turun dan menekan inflasi pada komoditasnya,”ungkapnya.
Upaya lainnya juga bisa dilakukan Dinas Pertanian dengan gerakan tanam cabai di seluruh desa. Jika setiap desa bisa menyediakan lahan sekitar sepuluh are, maka Dinas Pertanian akan menanam cabai serentak di 14.8 hektar lahan. “Nanti kalau panen tiga bulan lagi saya pikir harga cabai juga pasti stabil. Disamping itu untuk mengurangi kebutuhan pasar, seluruh kepala OPD juga harus menanam cabai dipekarangan rumah masing-masing minimal lima pohon plus semua kantor menanam cabai sesuai dengan kapasitas kantornya. Kepala OPD harus mendorong stafnya untuk membantu menanam cabai dirumahnya masing-masing. Kalau ini dipenuhi maka sekian ton kebutuhan juga akan terpenuhi dan persediaan juga bisa ditekan dan harganya pasti lebih baik,”imbuhnya.
Kemudian dari rakornas yang telah diikuti, Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi memberikan kebijakan dana desa boleh digunakan untuk membuat kegiatan pengendalian inflasi didesa. Misalnya menanam cabai, bawang merah, dan komoditas pangan yang menjadi penyebab inflasi. “Itu boleh dilakukan di desa masing-masing dengan mengambil kaplingan dengan biaya dari dana desa. Lalu untuk transportasi juga bisa diberikan dari dana BTT,”ucap Suyasa yang juga Sekda Buleleng ini.